Mengenal Tinnitus Lebih Dalam
Diterbitkan 17-06-2016
Tinnitus atau telinga mendenging merupakan suatu gejala yang biasa ditandai dengan bunyi mendenging, mendesir, atau tipe lainnya yang bukan berasal dari luar telinga. Tinnitus dapat bersifat normal seperti pada waktu kita berada di ruangan yang kedap suara. Tinitus dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti akibat mendengar bunyi dengan frekuensi yang sangat keras seperti yang banyak dialami oleh veteran perang dan korban ledakan. Penyakit seperti tumor dan penggunaan obat-obatan seperti aspirin, anti-kanker dan antibiotik tertentu juga dapat memicu terjadinya tinitus pada seseorang. Tinitus bukanlah gejala yang mengancam nyawa namun memiliki telinga yang mendenging begitu saja tanpa sebab yang jelas tentu dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang.
Tinitus terjadi didasari atas mekanisme rusaknya organ Corti yang mengandung sel-sel rambut yang berfungsi penting dalam fungsi pendengaran. Hilangnya sel-sel rambut mengakibatkan ketidakseimbangan pada daerah koklea (rumah siput) yang dapat diinterpretasikan oleh otak sebagai suatu suara walaupun sebenarnya tidak terdapat sinyal suara yang datang dari lingkungan luar.
Penelitian global yang dilakukan oleh peneliti dari University of Buffalo; Southeast University di Nanjing, Cina; dan Dahousie University di Kanada mengungkapkan pemahaman baru yang lebih mendalam mengenai bagaimana tinnitus terjadi dan alasan mengapa tinnitus sering menetap. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa jaringan neuronal yang luas di otak bertanggung jawab atas terjadinya tinnitus.
Peneliti mengidentifikasi pusat dari permasalahan ini berada pada jalur auditori pusat, dimana suara diolah di dalam otak. Hal menarik lainnya adalah ditemukannya keterlibatan amigdala, area pada otak yang memproses emosi dan persepsi. Banyak penderita melaporkan tinnitus yang sering muncul saat mengalami stres atau cemas. Hal ini mengungkapkan bahwa tidak hanya faktor telinga itu sendiri yang berperan namun faktor emosional juga ikut berperan. Selain amigdala, area lain yang juga ikut terlibat adalah area formasi retikuler yang merupakan pusat arousal atau bangkitan; hippocampus yang merupakan area yang berhubungan dengan ingatan; serta cerebellum yang merupakan pusat motorik. Hasil penelitian tersebut memberikan perspektif baru bagi target pengobatan tinnitus dikemudian hari sehingga diharapkan tingkat kesembuhannya meningkat.
Penanganan tinnitus tergantung dari penyebab yang mendasarinya, apabila tinnitus diakibatkan oleh suatu kondisi medis tertentu maka penanganan yang paling tepat adalah mengobati kondisi medis tersebut. Apabila tinnitus menetap setelah mendapatkan perawatan atau merupakan akibat dari paparan suara keras maka akan direkomendasikan pula berbagai perawatan yang dapat membantu mengurangi keluhan, seperti menggunakan alat bantu dengar, masking devices, ataupun tinnitus retraining therapy (TRT). TRT sendiri berfokus pada optimalisasi kemampuan alami otak untuk membiasakan menyaring sinyal di tingkat bawah sadar agar sinyal tersebut tidak mencapai persepsi sadar. Orang seringkali membiasakan diri dengan suara pendingin ruangan dan lemari es sehingga tidak terasa mengganggu. Konsep inilah yang digunakan pada terapi TRT sehinggat bunyi mendenging yang terjadi tidak dianggap bermakna oleh otak kita. Terapi jenis ini memakan waktu 12 hingga 24 bulan dan sangat efektif apabila dikerjakan oleh ahli yang sudah berpengalaman. Terdapat pula terapi biofeedback dimana metode terapi ini adalah membantu penderita dalam mengelola stres ataupun cemas yang dialami sehingga dapat membantu mengurangi tinnitus.
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya tinnitus. Paparan suara yang keras merupakan salah satu penyebab paling umum seseorang mengalami tinnitus, hendaknya dihindari dengan memberikan perlindungan terhadap telinga dan menjauhi sumber kebisingan.